IMPLEMENTASI PENGATURAN PERAMPASAN ASET TERHADAP PEJABAT PUBLIK YANG MEMILIKI UNEXPLAINED WEALTH DI INDONESIA

Kekayaan tidak wajar (unexplained wealth) atau illicit enrichment didefinisikan secara berbeda-beda di berbagai negara dan istilah unexplained wealth bukanlah istilah yang universal. Unexplained wealth pada umumnya merupakan peningkatan kekayaan secara tidak wajar, pengayaan illegal, keuntungan tidak sah, kekayaan yang tidak dapat dijelaskan atau aset yang tidak dapat dijelaskan.

RUU Perampasan Aset dalam pengaturannya mengatur unexplained wealth dalam Pasal 5 ayat (2) sebagai salah satu aset tindak pidana yang dapat dirampas, yakni aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana yang diperoleh sejak berlakunya RUU Perampasan Aset.

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat menjadi acuan mengenai penghasilan harta kekayaan pejabat publik yang tidak wajar (unexplained wealth) seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 7 Ayat (1) huruf a yang menyebutkan KPK dalam menjalankan tugas pencegahan tindak pidana korupsi berwenang untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Perampasan aset tindak pidana sebagai upaya dalam memulihkan keuangan negara dapat dilakukan dengan dua metode. Metode pertama adalah Conviction Based Asset Forfeiture atau perampasan aset dengan pemidanaan (criminal forfeiture atau in personam). Perampasan aset dengan pemidanaan merupakan mekanisme yang dipakai aparat penegak hukum (dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum) untuk merampas aset tindak pidana setelah adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Upaya pengembalian dalam metode ini merupakan metode yang lazim digunakan atau dapat dikatakan sebagai metode yang paling dikenal dalam upaya pemulihan aset tindak pidana korupsi. Yang kedua adalah perampasan aset tanpa pemidanaan atau Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau perampasan aset NCB yaitu upaya pengembalian aset tanpa disertai adanya pemidanaan terlebih dahulu terhadap pelaku tindak pidana.

Perampasan aset NCB atau juga biasa disebut “perampasan in rem” merupakan tindakan terhadap aset, bukan individu. Mekanisme perampasan aset NCB ini merupakan proses peradilan yang terpisah dari peradilan pidana, yang memungkinkan untuk merampas aset tindak pidana tanpa harus menunggu putusan peradilan pidana terhadap terdakwa.

Perampasan aset NCB juga diatur dalam RUU Perampasan Aset yang menyebutkan dalam Pasal 1 Angka 3 perampasan aset merupakan upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan aset terkait tindak pidana tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.

RUU Perampasan Aset mengakomodir kebutuhan alat untuk merampas aset-aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana. Dalam Pasal 5 ayat (1) RUU Perampasan Aset mengatur aset-aset apa saja yang dapat dirampas, antara lain:

  1. Aset yang merupakan hasil tindak pidana atau aset yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana, termasuk aset yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, harta orang lain, atau korporasi. Aset ini dapat berupa modal, pendapatan, atau keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
  2. Aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana;
  3. Aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara;
  4. Aset yang merupakan temuan dan diketahui patut diduga berasal dari tindak pidana.

Lebih lanjut, aset yang dapat dirampas berdasarkan RUU Peramapasan Aset dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (2), yang meliputi:

  1. Aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan pidana yang diperoleh;
  2. Aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.

Pengaturan aset yang dapat dirampas dalam RUU Perampasan Aset terlihat keterkaitannya dan mengarah pada apa yang dimaksud dengan unexplained wealth, khususnya dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, yang menjelaskan bahwa peningkatan kekayaan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan sumber penghasilannya yang sah merupakan aset yang dapat dirampas. Pada penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf a RUU Perampasan Aset menyebutkan bahwa aset yang tidak seimbang tersebut dapat diperoleh dari antara lain Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Laporan Pajak Penghasilan Pegawai (LP2P), atau Surat Pajak Tahunan (SPT). Pada kesimpulannya, unexplained wealth sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya dapat dikatakan sebagai tainted property atau aset tercemar yang dapat dikenakan perampasan aset NCB berdasarkan RUU Perampasan Aset.

Selanjutnya, proses pembuktian unexplained wealth dalam RUU Perampasan Aset menggunakan prosedur pembuktian terbalik, meskipun Jaksa Pengacara Negara tetap harus membuktikan adanya jumlah kekayaan yang dianggap tidak wajar. Prosedur pembuktian terbalik yakni menempatkan beban pembuktian pada tersangka atau terdakwa untuk menunjukkan bahwa tuduhan yang diajukan tidaklah benar. Jika terdakwa tidak dapat membuktikan hal tersebut dalam persidangan, jaksa tidak lagi berkewajiban membuktikan kesalahannya. Dengan kata lain, prinsip ini mengalihkan tanggung jawab pembuktian yang biasa berada di pihak jaksa kepada terdakwa. Alasan hukum penerapan prosedur pembuktian terbalik ini tidak dapat dilepaskan dari sifat khusus dari unexplained wealth milik pejabat publik yang sering kali berkaitan dengan kekuasaan dan upaya untuk menghindari pengawasan aparat penegak hukum. Dalam konteks ini, jaksa sebagai representasi negara mengajukan dalil bahwa kekayaan yang menjadi objek gugatan memiliki hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Pendekatan ini menjadi realistis karena yang menjadi objek gugatan adalah aset atau harta pelaku melalui pendekatan in rem, bukan tindakan pidana itu sendiri. Dengan menggunakan prosedur pembuktian terbalik diharapkan perampasan aset terhadap unexplained wealth menjadi lebih mudah.

Dalam praktiknya, indikasi adanya unexplained wealth pada pejabat publik dapat dikenali melalui beberapa tanda, seperti gaya hidup yang berlebihan, keberadaan transaksi mencurigakan, ketidaksesuaian dalam LHKPN, serta adanya laporan dari masyarakat. Pada dasarnya, perampasan terhadap unexplained wealth merupakan suatu mekanisme untuk merampas atau mengembalikan aset pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan penghasilan yang sah miliknya. Perampasan aset terhadap unexplained wealth berdasarkan RUU Perampasan Aset ini menggunakan pendekatan in rem, yang berfokus pada aset yang tidak dapat dijelaskan tersebut. Pendekatan in rem tidak bertumpu pada hubungan apakah pemilik aset tersebut (pejabat publik) mendapatkan asetnya dari hasil tindak pidana. Artinya, perampasan terhadap unexplained wealth dapat dilakukan apabila syarat bahwa ada kekayaan yang tidak dapat dijelaskan dan tidak sesuai dengan penghasilan sahnya, tanpa terlebih dahulu ada putusan pengadilan yang menetapkan bahwa aset tersebut merupakan hasil dari tindak pidana.

Dengan menggunakan perampasan aset NCB, pengembalian keuangan negara menjadi lebih efektif dan membawa manfaat, sehingga dapat menjadi alternatif yang penting dalam system peradilan pidana di Indonesia, sehingga dapat menjadi alternatif yang penting dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya dalam penegakan hukum terhadap pejabat publik yang mempunyai kekayaan yang tidak dapat dijelaskan (unexplained wealth).

Oleh karena itu, perlu dilakukan perumusan model perampasan aset NCB yang sesuai dengan kondisi hukum, sosial, dan politik di Indonesia. Model yang akan diterapkan di Indonesia harus mampu menyeimbangkan perlindungan hak asasi individu dengan upaya negara dalam memberantas korupsi. Pendekatan yang digunakan harus memastikan bahwa proses perampasan aset berlangsung secara transparan dan akuntabel, serta disertai dengan jaminan bagi pejabat publik untuk membuktikan keabsahan kekayaannya melalui proses yang adil. Hal ini juga perlu dilengkapi dengan perangkat hukum yang jelas dan tegas, sehingga pelaksanaan perampasan aset NCB tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau menyimpang dari asas keadilan.

Dengan perumusan yang tepat, model perampasan aset NCB di Indonesia diharapkan dapat menjadi instrumen efektif dalam pemberantasan korupsi, khususnya terhadap pejabat publik yang memiliki kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal – usulnya (unexplained wealth). Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum tetapi juga memberikan efek jera kepada pejabat publik yang berniat mengakumulasi kekayaan dengan cara yang melanggar hukum.

Diharapkan dengan hadir RUU Perampasan Aset hingga disahkan menjadi undang-undang mampu menjadi akomodatif terhadap berbagai permasalahan terkait perampasan aset di Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa regulasi yang berlaku saat ini belum secara optimal mampu merampas aset milik pelaku korupsi maupun unexplained wealth pejabat publik. Kerap kali terjadi ketidakharmonisan dan konflik norma dalam regulasi yang ada, yang menyebabkan penegakan hukum terkait perampasan aset tidak berjalan dengan maksimal. Mengingat realitas tersebut, RUU Perampasan Aset seharusnya mampu memperkuat implementasi UNCAC yang mengamanatkan kepada negara pihak untuk merumuskan peraturan mengenai mekanisme perampasan aset yang tercemar tanpa melalui proses pemidanaan (NCB).

 

KESIMPULAN

Perampasan aset tanpa pemidanaan (non – conviction based asset forfeiture) adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk membantu negara dalam memulihkan aset hasil tindak pidana tanpa harus melalui proses peradilan pidana. Perampasan aset NCB merupakan mekanisme yang sangat efektif untuk merampas unexplained wealth yang merupakan tainted property atau diduga merupakan hasil kejahatan dari pejabat publik dan mengembalikan aset tersebut kepada negara yang menjadi korban. Di Indonesia, sudah ada pengaturan yang memungkinkan dilakukannya perampasan aset NCB terhadap unexplained wealth yakni dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset). RUU Perampasan Aset mengatur tentang perampasan aset tanpa pemidanaan yang dapat dilakukan terhadap aset tindak pidana, yang salah satunya adalah aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan pidana yang diperoleh (unexplained wealth). Namun, hingga saat ini RUU Perampasan Aset masih belum disahkan menjadi undang-undang sehingga pelaksanaan perampasan aset tanpa pemidanaan terhadap unexplained wealth belum dapat dilakukan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU Nomor 28 Tahun 1999;
  3. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999. UU Nomor 20 Tahun 2001;
  4. Undang-Undang Tentang Pengesahan United Convention Against Corruption 2003. UU Nomor 7 Tahun 2006;
  5. Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. UU Nomor 8 Tahun 2010;
  6. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 30 Tahun 2002. UU Nomor Nomor 19 Tahun 2019;
  7. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, Dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. PKPK Nomor 2 Tahun 2020.

PENULIS